ERIK ERIKSON
TEORI NEOFREUDIAN
A. Biografi
Erik Erikson
Erik Homberger atau Erik Homberger Erikson lahir di
Frankfurt, Jerman pada tanggal 15 juni 1902. Dia dibesarkan oleh ibunya, yang
beragama yahudi dan keturunan Denmark, dan ayah tirinya, seorang anak dokter
yang beragama yahudi. Erikson percaya bahwa ayah tirinya tersebut adalah ayah
kandungnya dan ayah tirinya yang memberinya nama belakang, Homberger. Ayah
kandung Erikson meninggalkan ibunya sebelum dia lahir. Rambut pirang Erik dan
mata birunya membuatnya merasa berbeda dikeluarganya. Disekolah ia dianggap yahudi oleh teman-temannya, sedangkan di
sinagoga ia dianggap gay atau bukan
yahudi. Tidak mengeharankan, Erik merasa dirinya tidak diterima dimanapun.
Ayah tiri Erikson yang seorang dokter mengharapkan
Erik saat tumbuh dewasa nanti mengikuti jejaknya untuk menjadi dokter. Akan
tetapi, Erik menentukan langkah hidupnya sendiri agar dapat berbeda. Ia
memasuki sekolah seni dan menjadi seorang penyair keliling, namun ia belum
merasakan kebahagiaan sepenuhnya. Atas saran dari temannya Peter BLos, Erikson
mengajarkan seni kepada anak-anak rombongan Freud di Wina. Salah satu pendiri
sekolah tersebut adalah Anna Freud, yang sekaligus menjadi atasan Erikson dan
juga sebagai psikoanalisisnya..
Selama di Wina, Erikson bertemu dengan Joan serson
yang akhirnya dengan seizin anna Freud keduanya melangsungkan pernikahan. Istri
Freud adalah seorang penari, seniman dan guru kelahiran kanada yang tumbuh juga
dibawah naungan psikoanaisis. Pada tahun 1933, dia dan istrinya meninggalkan
Jerman, dia pergi ke Denmark sebentar, kerumah orang tuanya dan kemudian pergi
ke amerika serikat. Untuk menandai perubahan identitas pada dirinya, dia
mengambil nama Erikson untuk nama belakangnya.
Walaupun ia tidak memiliki gelar sarjana, Erikson
menjadi analis anak dan mengajar di Harvard. Di Harvard ia bergabung dengan
Harvard Psychological clinis dibawah naungan Henry Muray. Erikson juga
berafiliasi, di berbagai karirnya, dengan lembaga hubungan manusia di Yale,
studi bimbingan dalam lembaga perkembangan manusia universitas California di
Berkeley. Disamping ia belajar klinik dan perkembangan, perkumpulan antropolog
mengizinkannya untuk mengamati perkembangan dua budaya indian di amerika, suku
siox di pine ridge, Dakota selatan, dan suku yurox, kalifornia utara.
Pada tahun 1949, para petinggi universitas caifornia
menuntut anggota fakultas untuk menandatangani sumpah yang menjamin kesetiaan
pada Amerika serikat.Erikson dan beberapa orang lainnya menolak untuk
menandatanganinya, sehingga menyebabkan Erikson di keluarkan dari universitas
kalifornia sebagai professor psikologi sekaligus dosen psikiatri. Setelah
dikeluarkan, akhirnya ia pindah ke Massachusetts dimana ia bekerja sebagai
terapis di Austen riggs, pusat penanganan untuk pelatihan psikoanalisis dan
penelitian yang berlokasi di stockbridge. Pada tahun 1960, Erikson kembali ke
Harvard dan selama sepuluh tahun berikutnya ia menjabat sebagai professor
perkembangan manusia. Erikson meninggal di usia 91 tahun pada tanggal 12 mei
1994.
Meskipun
Erikson tidak memiliki gelar lebih tinggi dalam bentuk apapun kecuali
sertifikat pendidikan Montessori, kontribusi Erikson membuat psikologi mengubah
pemahaman kita tentang perkembangan manusia dan hubungan antara individu dengan
masyarakat. Kontribusi Erikson yang paling penting adalah model perkembangan
kepribadian yang menyeluruh di sepanjang rentang kehidupan manusia.
B.
Konsep
atau pokok-pokok teori
Sebagai
seorang Post-Freudian, Erik H. Erikson menguraikan dan memperluas struktur
Psikoanalisis yang dibangun oleh Freud serta merumuskan kembali
prinsip-prinsipnya guna memahami dunia modern. Akan tetapi, teori Erikson lebih
tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia
menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi
sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang
diajukan oleh Freud.
Teori
Erikson yang terbentuk secara baik sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal pertumbuhan egonya. Pusat dari teori mengenai perkembangan
ego tersebut ialah sebuah asumsi mengenai perkembangan setiap manusia merupakan
suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan. Dengan kata
lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan
berdasarkan prinsip epigenetic.
C.
Struktur
Kepribadian
Ego kreatif
Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang
dimiliki ego, yang tidak ada pada psikoanalisis Freud yaitu kepercayaan dan
penghargaan, otonomi dan kemauan, kerajinan dan kompetisi, identitas dan
kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta
integritas. Ego semacam itu disebut juga dengan ego kreatif, ego yang dapat
menemukan pemecahan kreatif atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan.
Apabila menemui hambatan atau konflik, ego tidak menyerah tetapi bereaksi
dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang
disediakan lingkungan. Ego adalah pengatur id, superego dan dunia luar. Ego
yang sempurna digambarkan Erikson memiliki
tiga dimensi yaitu:
a. Faktualitas
yaitu kumpulan fakta, data, dan metoda yang dapat di verifikasi dengan metoda
kerja yang sedang berlaku. Ego berisi kumpulan fakta dan data hasil interaksi
dengan lingkungan.
b. Universalitas
berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan yang menggabungkan hal yang praktis
dan kongkrit dengan pandangan semesta, mirip dengan prinsip realita dari Freud.
c. Aktualitas
adalah cara baru dalam berhubungan satu dengan yang lain, memperkuat hubungan
untuk mencapai tujuan bersama. Ego adalah realita kekinian, terus mengembangkan
cara baru dalam memecahkan masalah kehidupan, menjadi lebih efektif,
prospektif, dan progresif.
Menurut
Erikson, ego sebagian bersifat tidak sadar, mengorganisir, dan mensintesa
pengalaman sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dengan diri masa yang akan
datang. Dia menemukan tiga aspek ego yang saling berhubungan, yakni body ego,
ego ideal dan ego identity. Ketiga aspek itu berkembang sangat cepat pada
dewasa, namun pada umumnya perubahan ketiga elemen tersebut terjadi pada semua
tahap kehidupan.
1. Body
ego: mengacu ke pengalaman orang dengan tubuh/fisiknya sendiri.
2. Ego
ideal: gambaran mengenai bagaimana seharusnya diri, sesuatu yang bersifat
ideal.
3. Ego
identity: gambaran mengenai diri dalam berbagai peran sosial.
Ego Otonomi
Fungsional
Teori Ego dari Erikson yang dapat dipandang sebagai pengembangan dari teori perkembangan
seksual-infantil dari Freud, mendapat pengakuan yang luas sebagai teori yang
khas, berkat pandangannya bahwa perkembangan kepribadian mengikuti prinsip
epigenetic. Menurut Erikson, fungsi psikoseksual dari Freud yang bersifat biologis
juga bersifat epigenesist, artinya psikoseksual untuk berkembang membutuhkan
stimulasi khusus dari lingkungan, dalam hal ini yang terpenting adalah
lingkungan sosial.
Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan
ibu-anak menjadi bagian penting dari perkembangan kepribadian. Tetapi Erikson
tidak membatasi teori hubungan id-ego
dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Menurutnya, situasi memberi
makan merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan dunia luar. Lapar
jelas manifestasi biologis, tetapi konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu
akan menimbulkan kesan bagi bayi tentang dunia luar. Dari pengalaman makannya,
bayi belajar untuk berinteraksi dalam bentuk kepercayaan dasar yaitu dengan
memandang ibunya atau orang disekitarnya, karena itu memberikan rasa aman. Sebaliknya
tanpa basic trust bayi akan merasakan cemas.
Kepercayaan dasar berkembang menjadi karakteristik
ego yang mandiri bebas dari dorongan drives dari mana ia berasal. Ciri khas
psikologi ego dari Erikson dapat diringkas sebagai berikut:
1. Erikson
menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sosial.
Pusat perhatian psikologi ego adalah kematangan ego yang sehat, alih-alih
konflik salah suai yang neuritik.
2. Erikson
berusaha mengembangkan teori insting dari Freud dengan menambahkan epigenetic
kepribadian.
3. Erikson
secara eksplisit mengemukakan bahwa motif
berasal dari impuls id yang tak sadar, namun motif itu bisa membebaskan
diri dari id seperti individu meninggalkan peran sosial di masa lalunya. Fungsi
ego dalam pemecahan masalah, persepsi, identitas ego, dan dasar kepercayaan
bebas dari id, membangun system kerja sendiri yang terlepas dari system kerja
id.
4. Erikson
mengnggap ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang selama menyesuaikan diri
dengan realita, ego mengembangkan perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu
dan masa yang akan datang.
Pengaruh
masyarakat
Penekanan Erikson terhadap faktor-faktor sosial dah
historis berkebalikan dengan sudut pandang freud yang kebanyakan bersifat
biologis. Bagi erikson saat manusia lahir, ego hanya hadir sebagai potensi namun,
untuk menjadi actual harus hadir dalam lingkungan kultural. Masyarakat yang
berbeda-beda dengan pola pengasuhan anak yang berbeda cenderung membentuk
kepribadian yang cocok dengan kebutuhan dan nilai budaya mereka sendiri.
Contohnya, Erikson (1963) menemukan bahwa pengasuhan
yang lama dan permisif dari suku Sioux menghasilkan sesuatu yang setara yang
disebut freud kepribadian “oral” yaitu
manusia yang mencapai kesenangan pada fungsi mulut. Kenapa dikatakan
mengahsilakn kepribadian “oral” karena masyarakat suku Sioux memberikan ASI
kepada anak mereka secara berlebihan. Disamping suku Sioux erikson juga
meneliti suku Yurok yang menetapkan regulasi yang ketat terhadap
pengeliminasian urin dan feses, praktik yang cenderung berkembang kepada
kepribadian “anal”. Di masyarakat Amerika-Eropa, oralitas dan analitas sering
kali di anggap sebagai karakter yang tidak diinginkan. Walaupun begitu, Erikson
(1963), berpendapat bahwa oralitas di suku Sioux dan analitas disuku Yurox
memiliki ciri adaptif yang membantu individu sekaligus budaya mereka.
Salah satu kontribusi utama Erikson bagi teori
kepribadian adalah perluasan tahap-tahap awal perkembangan Freudian sampai
meliputi usia sekolah, masa muda, masa dewasa, dan masa tua.
D.
Perkembangan
kepribadian
Perkembangan kepribadian terjadi berdasar prinsip
epigenetic. Yaitu, satu bagian komponen yang tumbuh dari komponen lain dan
memiliki pengaruh waktu tersendiri, namun tidak mengubah komponen waktu
sebelumnya. Didalam tiap tahap kehidupan terdapat interaksi yang berlawanan
yaitu konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan elemen distonik
(mengacaukan). Ditiap tahapan, konflik antara elemen sintonik dan distonik
menghasilkan kualitas ego dan kekuatan ego yang Erikson sebut sebagai kekuatan
dasar. Terlalu sedikitnya kekuatan pada satu tahapan mengakibatkan patologi
inti. Walaupun Erikson menyebut delapan tahapannya sebagai psikososial namun ia
tidak mengesampingkan aspek biologis dalam perkembangan manusia. Identitas ego
dibentuk oleh keanekaragaman konflik dan kejadian masa lampau, sekarang dan
yang akan datang. Perkembangan saat masa remaja ditandai oleh krisis identitas
yang erikson sebagai titik balik. Krisis identitas bukan suatu mala petakan
melainkan kesempatan untuk penyesuaian adaptif maupun nonadaptif.
a. Masa
Bayi
Tahapan
pertama psikososial adalah masa bayi. Menurut Erikson masa bayi adalah masa
pembentukan, dimana bayi menerima bukan hanya dari mulut saja, namun juga
melalui indra lainnya. Masa bayi ditandai dengan aspek psikososial, krisis
psikososial, kekuatan dasar dan ritualisasi-ritualisme.
Aspek
psikososial: sensori oral
Tahapan
sensori oral ditandai oleh dua gaya pembentukan-memperoleh dan menerima apa
yang diberikan. Memperoleh, bayi dapat memperoleh sesuatu tanpa kehadiran orang
lain, misalnya udara yang dapat membuat mereka bernafas. Menerima, memperoleh
sesuatu melalui konteks sosial. Pelatihan awal dalam hubungan interpersonal ini
membantu mereka untuk belajar menjadi pemberi nantinya. Untuk membuat orang
lain memberi, mereka harus belajar mempercayai atau tidak memercayai orang
lain. Hal inilah yang membangun krisis psikososial dimasa kanak-kanak yaitu
rasa percaya dasar vs rasa tidak percaya dasar.
Rasa percaya dasar
vs rasa tidak percaya dasar
Hubungan intra personal
yang terjadi pada bayi adalah hubungan dengan pengasuh utam mereka yaitu ibu.
Apabila pola bayi menerima cocok dengan cara kulturnya menerima sesuatu, maka
bayi akan belajar rasa percaya dasar. Sebaliknya, apabila mereka menemukan
ketidakcocokan antara kebutuhan sensori oral maka mereka akan belajar rasa
tidak percaya dasar. Rasa percaya dasar bersifat sintonik dan rasa tidak
percaya dasar bersifat distonik. Akan tetapi bayi harus belajar keduanya, karena
jika ia terlalu percaya ia akan mudah ditipu dan rapuh terhadap keanehan dunia.
Sedangkan sedikit kepercayaan akan membuat
frustasi, amarah, sikap sinis atau depresi bahkan permusuhan. Menurut
erikson rasio rasa percaya dan rasa tidak percaya merupakan hal kritis bagi
kemampuan manusia untuk beradaptasi.
Harapan:
kekuatan dasar masa bayi
Harapan muncul dari
konflik antara rasa percaya dan rasa tidak percaya. Tanpa adanya hubungan
bertentangan antara keduanya maka manusia tidak dapat mengembangkan harapan.
Dengan memiliki pengalaman yang menyakitkan dan menyenangkan, bayi belajar
berharap bahwa gangguan di masa depan akan diakhiri oleh hasil yang memuaskan.
Apabila bayi tidak mengembangkan harapan yang cukup pada masa ini, maka mereka
akan mengalami penarikan diri atau patologi inti dimasa bayi. Jika ini terus
berlanjut maka mereka akan menarik diri dari dunia luar dan memulai perjalanan
menuju gangguan psikologis yang serius.
Ritualisasi-ritualisme:
Keramat vs pemujaan
Bayi menganggap hubungannya dengan ibu sebagai
sesuatu yang keramat (numinous). Pola interaksi numinous membuat bayi sangat
menghargai ibunya. Numinous akan menjadi dasar bagaimana orang berintraksi
dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan
perasaan takut. Ibu yang tidak menghendaki anaknya, akan menjadikan anaknya
tersebut terasing, dan merasa terbuang. Interaksi intrapersonal akan menjadi
pemujaan (idolism). Ada dua sisi idolsm karena penolakan ibu: membuat anak
memuja dirinya sendiri dan membuat anak memuja orang lain. Keduanya akan
berakibat orang tidak pernah berhenti untuk mencari pola interaksi yang
sempurna, dengan memaksa orang lain untuk mengidolakannya, atau memuja orang
lain yang diidolakannya.
b. Kanak-kanak
Awal
Menurut erikson, anak-anak mendapat kesenangan bukan
hanya karena menguasai otot sirkular yang dapat berkontraksi, namun juga
menguasai fungsi tubuh lainnya. Masa kanak-kanak awal merupakan masa dimana
kanak-kanak mengalami ragu dan malu karena merka belajar bahwa banyak usaha
mereka akan otonomi tidak berakhir dengan sukses.
Aspek
psikoseksual: otot anal-uretral
Selama tahun kedua dalam kehidupan, penyesuaian
psikoseksual anak adalah otot anal-uretral. Anak belajar untuk mengendaliakn
tubuh mereka yang berkaitan dengan kebersihan dan pergerakan. Menurut erikson
disamping toilet training juga masa belajar berjalan, lari, memeluk orang
tuanya dan memegang mainan atau objek lainnya.aktivitas tahap ini mengandung
kontradiksi, antara menahan kotoran atau melakukan defekasi secara sengaja,
memluk ibunya atau menjauhinya, memegang objek dengan erat atau membuangnya
secara kasar. Pada tahap ini anak belajar untuk menjadi keras kepala atau
lembut, menjadi impulsive atau kompulsif, menjadi senang bekerja sama atau
benci.
Otonomi
vs malu dan ragu
Otonomi tumbuh dari rasa percaya dasar, dan bila
rasa percaya dasar telah dicapai pada masa bayi, maka anak-anak belajar untuk
memiliki keyakinan terhadap diri mereka sendiri. Rasa malu adalah perasaan
sadar diri bahwa ia di pandangi dan dipertontonkan. Rasa ragu adalah perasaan
tidak pasti, perasaan bahwa sesuatu tetap disembunyikan dan tidak bisa
terlihat. Rasa malu dan rasa ragu adalah elemen distonik, dan keduanya tumbuh
dari rasa tidak percaya dasar yang dicapai ketika bayi.
Kemauan:
dasar kekuatan masa kanak-kanak awal
Hasil mengatasi krisis otonomi vs malu dan ragu
adalah kekuatan dasar kemauan. Ini adalah permulaan dari kebebasan kemauan dan
kekuatan kemauan, yang menjadi dasar dari wujud virtue kemauan dalam egonya.
Dasar-dasar kemauan dapat muncul hanya kalau anak diizinkan mngontrol sendiri
otot-ototnya ( otot anal, otot uretral). Jika budaya terlalu menanamkan
malu-ragu, dan menghambat otonomi, anak menjadi kurang berhasil dalam
mengembangkan kekuatan dasar yang kedua ini.
Ritualisasi-ritualisme:
bijaksana vs legaisme
Pada tahap ini pola komunikasi mengembangkan
penilaian benar atau salah dari tingkah laku diri dan orang lain, disebut
bijaksana. Bijaksana memperoleh kepuasan dari interaksi yang moralistic. Penymipangan
terjadi, apabila kepuasan diperoleh dari penerapan peraturan bukan dari
interaksi yang terbangun, disebut legalisme. Interaksi atas dasar legalisme
hanya akan menimbulkan kasta-kasta dalam masyarakat.
c. Usia
Bermain
Aspek
psikoseksual: lokomotor-genital
erikson mengakui gejala odipus muncul sebagai dampak
dari fase psikoseksual lokomotor-genital, namun odipus itu diberi maknayang
berbeda. Menurutnya, situasi odipus
adalah propotip dari kekuatan
yang abadi dari kebahagiaan manusia. Odipus complex adalah drama yang dimainkan
dalam imajinasi anak, yang bertujuan untuk memahami berbagai konsep dasar
seperti berbagai konsep dasar seperti reproduksi, pertumbuhan, masa depan dan
kematian. Odipus tidak selalu sama. Aktivitas genital pada usia bermain diikuti
dengan peningkatan fasilitas untuk bergerak.
Inisiatif vs
rasa bersalah
Konflik antara rasa bersalah dan inisiatif menjadi
krisis psikososial utama diusia bermain. Rasio antara keduanya harus lebih
condong ke elemen sintonik-inisiatif. Akan tetapi, inisiatif yang tidak
terkendali dapat mengakibatkan kekacauan dan kurangnya prinsip moral. Apabila
rasa bersalah dominan, anak bis bermoral terpaksa atau terlalu terkekang.
Kekangan yang merupakan antipasti merupakan patologi inti usia bermain.
Tujuan: kekuatan
dasar usia bermain
Konflik antara inisiatif vs rasa bersalah
menghasilkan kekuatan dasar tujuan. Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan.
Tujuan untuk menang atau mencapai puncak. Usia bermain juga merupakan tahapan
dimana anak-anak mengembangkan hati nurani dan mulai menempelkan label benar
atau salah pada tingkah laku. Hati nurani dimasa muda ini menjadi “landasan
akan moralitas”.
Ritualisasi-ritualisme
dramatic vs impersonasi
Anak-anak berinteraksi dengan memakai fantasinya
disebut dramatic. Dramatic mendorong orang untuk berinteraksi sesuai dengan
peran yang diharapkan dimasyarakat, tanpa menimbulkan perasaan berdosa dalam
dirinya. Kalau permainan peran menjadi kompulsi, orang tidak menjadi dirinya
sendiri tetapi hanya memainkan peran sesuai dengan fantasinya, akan timbul
interaksi yang menyimpang disebut impersonasi.
d. Usia
Sekolah
Pada usia ini anak usia sekolah memiliki keinginan
untuk mengetahui sesuatu menjadi lebih kuat dan terikat dengan usaha dasar
kompetensi.
Aspek
psikoseksual: latensi
Latensi seksual penting karena anak-anak mengalihkan
energy mereka untuk mempelajari teknologi kultur mereka dan strategi akan
interaksi sosial mereka.ketika anak-anak bermain dan bekerja mereka mulai
membentuk gambaran diri mereka sebagai orang kompeten dan tidak kompeten.
Gambaran diri adalah asal dari ego identitas-rasa “saya” atau “kesayaan” yang
berkembang hamper secara utuh selama remaja.
Industry vs rasa
rendah diri
Industry , kualitas sintonik yang berarti
kesungguhan, kemauan untuk tetap sibuk akan sesuatu, dan untuk menyelesaikan
sebuah pekerjaan yang baik untuk mencapai sasaran. Apabila pekerjaan tidak
cukup untuk mencapai sasaran maka akan memperoleh rasa rendah diri-elemen
distonikdalam usia sekolah. Rasio rendah diri dan industry harus condong ke
industry. Namun, rasa rendah diri tidak perlu dihidari karena sebagai pendorong
untuk melakukan yang terbaik. Rasa rendah diri yang berlebihan dapat menghambat
kompetensi seseorang.
Kompetensi:
kekuatan dasar usia sekolah
Dari konflik antara industry vs rasa rendah diri,
anak usia sekolah mengembangkan kekuatan dasar kompetensi yaitu rasa percaya diri untuk menggunakan
kemampuan fisik dan kognitif dalam meneyelesaikan masalah. Kompetensi
memberikan landasan untuk “ partisipasi kooperatif dalam kehidupan dewasa yang
produktif”. Apabila pertentangan antara industry vs rasa rendah diri tidak
condong kesalah satu maka akan menyebabkan anak akan menyerah dan mundur
ketahap sebelumnya. Hal ini disebut dengan inersia.
Ritualisasi-ritualisme:
formal vs formalism
Formal adalah interaksi yang mementingkan cara yang
tepat untuk memperoleh hasil yang maksimal. Model ini akan membantu anak-anak
mengerjakan dengan metode yang standart yang dapat digunakan bekal saat masuk
dunia kerja. lawan dari formal adalah formalism yaitu orang sangat mementingkan
metode-pekerjaan itu harus benar tidak penting bagaimana hasilnya. Dalam dunia
kerja hal ini terlalu mengekang karyawan.
e. Remaja
Pubertas
Pubertas adalah kematangan genital yang memainkan
peranan cukup kecil dalam peranan remaja Erikson. Pubertas penting secara
psikologis karena memicu pengharapan akan peran seksual dimasa mendatang-dapat
dipenuhi dengan perjuanganuntuk
mencapai ego identitas.
Identitas vs
kebingungan identitas
Pencarian identitas ego mencapai puncaknya pada masa
remaja, ketiak remaja berjung mencari tau siapa dirinya. Identitas dapatnegatif
dan dapat positif. Identitas positif: mereka akan menjadi apa yang mereka
harapkan. Identitas negative: apa yang mereka tidak inginkan untuk menjadi apa
yang mereka tidak percayai. Sperti elemen distonik lainnya, pa tingkat tertentu
kekacauan identitas itu diperlukan. Remaja harus mengalami kekecauan identitas
sebelum mereka menemukan identitas dirinya yang stabil. Jika terlalu banyak
mengalami kekacauan identitas berakibat patologis dalam bentuk regresi
keperkembangan lalu. Apabila condong ke identitas maka akan mampu menetapkan
siapa dirinya dan mudah dalam pengambilan keputusan.
Kesetiaan:
kekuatan dasar remaja
Rasa percaya yang dipelajari saat bayi adalah dasar
dari kesetiaan. Tiap-tiap kekuatan dasar pada tahapan perkembangan sangat
dibutuhkan untuk mencapai kekuatan ego yang cukup. Pasangan patologisnya adalah
penyangkalan peran yang dapat berupa kurangnya percaya diri.
Ritualisasi-ritualismite:
ediologi vs totalisme
Ritualisasi ediologi adalah gabungan dari
ritualisasi tahap sebelumnya. Ritualisasi ediologi menjadi awal dari kesiapan
untuk mengadopsi etika masyarakat, memilih gaya hidup yang sesuai dengan diri
kita, dll. Pilihan ediologi yang sempit
dan tertutp dalah totalisme. Totalisme adalah mendewakan keyakinan dirinya
sendiri.
f. Dewasa
awal
Pada masa remaja orang harus memperoleh pemahaman
yang mantap tentang diri mereka sendiri, untuk dapat menyatukan identitas diri
mereka dengan identitas orang lain, tugas yang harus dikerjakan pada tahap
dewasa awal. Tahap dewasa awal waktunya relative tidak dibatasi. Tahap ini
ditandai dengan perolehan keintiman pada awal periode dan ditandai perkembangan
berketurunan pada akhir periode.
Genitalitas
aktivitas seksual selama tahap remaja adalah
ekspresi pencarian identitas yang biasanya dipuaskan sendiri. Genitalitas
sebenarmya baru dikembangkan pada tahap dewasa awal, ditandai dengan saling
percaya dan berbagi kepuasan seksual secara permanen dengan orang yang
dicintai.
Keintiman vs
Keterasingan
Keintiman adalah kemampuan untuk meleburkan
identitas seseorang dengan ornag lain tanpa takut akan kehilangan identitasnya.
Oleh karena itu keintiman hanya dapat dicapai ketika seseorang sudah membentuk
ego yang stabil. Lawan dari keintiman adalah keterasingan yaitu ketidakmampuan untuk
mengambil kesempatan dengan identitas seseorang dengan berbagi keintiman sejati
keterasingan terkadang dibutuhkan sebelum seseorang memperoleh cinta yang
matang. Keintiman yang berlebihan dapat menghilangkan rasa ego identitas
seseorang, yang mengakibatkan kemunduran psikososial dan ketidakmampuan
menghadapi tahap selanjutnya. Bahaya
yang lebih besar adalah keterasingan yang berlebih, keintiman yang kecil dan kekurangan kekuatan dasar cinta.
Cinta:
kekuatan dasar dewasa muda
Cinta adalah kesetiaan yang masak sebagai dampak
perbedaan antar pria dan wanita. Cinta disamping bermuatan intimasi juga
membutuhkan sedikit isolasi, karena masing-masing individu tetap boleh memiliki
identitas yang terpisah. Kekuatan dasar inilah yang membuat orang dewasa muda
bisa berkembang produktif pada dua tahap perkembangan yang terakakhir.
Kebalikan dari cinta ialah kesendirian, sumber patologi dewasa awal.
Kesendirian sedikit dibutuhkan dalam intimasi yakni bahwa orang harus bisa
menolak orang tertentu atau menolak ide-ide untuk mengembangkan identitas yang
kuat. Kesendirian menjadi patoogis kalau kekuatannya sampai menghalangi
kemampuan kerja sama atau kompromi yang menjadi syarat mutlak untuk adanya
intimasi dan cinta.
Ritualisasi-ritualisme: afiliasi vs elitism
Afiliasi mendorong
orang untuk berbagi dengan orang lain. Jika afiliasi dalam kelompok menjadi
sangat kuat, kelompok itu menjadi eksklusif, ciri utama ritualisme elitism.
Elitsm memandang orang lain penuh dengan curiga dan merendahkan.
g. Dewasa
Prokreativitas
Menurut erikson, manusia mempunyai insting untuk
mempertahankan jenisnya. Insting itu disebut prokreativita, yang mencakup
kontak seksual dengan individu intimasi, dan tanggung jawab untuk merawat anak
keturunan dari kontak seks tersebut.
Generativitas vs
stagnasi
Kualitas sintonik tahap dewasa adalah generativitas
yaitu penurunan kehidupan baru serta produk dan ide baru. Gnerativitas
berhubungan dengan membimbing generasi penerus termasuk merawat anak dan
memberikan sumbangan ide untuk kehidupn yang lebih baik. lawan dari
generativitas adalah stagnasi. Siklus generativitas dari produktivitas dan
kreativitas akan lumpuh apabila orang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Beberapa elemen dari stagnasi tetap dibutuhkan
agar orang dapat terus kreatif. Sesekali dia perlu berhenti, untuk membangun
generativitas yang lebih baik.
Kepedulian:
kekuatan dasar dewasa
Erikson mendefinisikan rasa peduli sebagai komitmen
meluas untuk merawat seseorang, produk dan gagasan seseorang yang harus
dipedulikan. Sebagai kekuatan dasar dewasa, rasa peduli timbul dari kekuatan
dasar ego sebelumnya. Antipasti dari rasa peduli adalah penolakan, patologi
inti dewasa. Penolakan adalah ketidakinginan untuk merawat orang-orang
tertentu. erikson berkata bahwa penolakan “memiliki implikasi sangat jauh untuk
kelangsungan hidup manusia sebagimana untuk perkembangan psikososial
seseorang”.
Ritualisasi-ritualisme:
generasioanl vs otoritisme
Generasioanal adalah interaksi antara orang dewasa
dengan generasi penerusnya. Sedangkan otoritisme adalah paksaanm orang dewasa
dengan kekuasaan dan kekuatanny memaksakan aturan, moral, dan kemauan pribadi
dalam interaksi tanpa menimbang siapa yang diatur dan apa tujuan dari otoriter
itu.
h. Usia
Tua
Usia tua bukan berarti tidak menjadi generative
lagi, walaupun sudah tidak dapat reproduksi lagi, tapi masih bisa produktif dan
kretatif dalam hal lain. Usia tua bisa menjadi waktu yang orang senang bermain,
menyenangkankan dan keriangan, namun bisa juga menjadi tempat orang pikun,
depresi dan putus asa.
Sensualitas
tergeneralisasi
Sensualitas tergeneraliasai berarti bahwa mendapat
kesenangan dalam ragam sensasi fisik yang berbeda, penglihatan, pendengaran,
kecapan, bau, pelukan dan bisa juga stimulasi genital. Generalisasi sensualitas
bisa juga ditunjukkan dengan memberi perhatian yang lebih besar kepada gaya
hidup jenis kelamin pasangannya.
Integritas vs
putus asa
Elemen distonik pada tahap ini “putus asa” yang
menang. Hanya oran yang memiliki identitas ego yang kuat yang dapat mecapai
intgritas. Integritas adalah perasaan menyatu dan utuh, kemampuan untuk
menyatukan perasaan, keakuan, dan megurangi kekuatan fisik dan intelektual.
Integritas ego sulit dipertahankan ketika orang telah kehilangan sesuatu yang
akrab dengan dirinya. Hal tersebut akan menjadikan putus asa.
Kebijaksanaan:
kekuatan dasar usia lanjut
Orang dengan kebijaksanaan yang matang , tetap
mempertahankan integritasnya walau kondisi fisik dan mentalnya menurun. Orang
lanjut usia yang memiliki kebijaksanaan akan peduli dengan yang namanya
kematian. Lawan dari kebijaksanaan adalah penghinaan. Penghinaa adalah lanjutan
dari penolakan, sumber patologi orang dewasa.
Ritualisasi-ritulisme:
integral vs separatism
pada usia tua, ritualisasinya adalah integral yatu
ungkapan kebijaksanaan dan pemahaman makna kehidupan. Orang yang tidak memiliki
kebijaksanaan, akan berinteraksi dengan ritualism separatism yaitu bergaya
bijaksana, memberi petuah-petuah dogmatis untuk menyembunyikan bahwa dirinya
tidak memiliki sifat yang bijak, mungkin juga untuk menyembunyikan
keputusasaanya.
E.
Dinamika
Kepribadian
Feist dan
Feist (2008, 215-217) menyatakan bahwa perwujudan dinamika kepribadian adalah
hasil interaksi antara kebutuhan biologis yang mendasar dan pengungkapannya
melalui tindakan-tindakan sosial. Hal ini berarti bahwa perkembangan kehidupan
individu dari bayi hingga dewasa umumnya dipengaruhi oleh hasil interaksi
sosial dengan individu lainnya sehingga membuat individu menjadi matang baik
secara fisik maupun secara psikologis. Erikson (Alwisol, 2009:87) menyatakan
bahwa ego adalah sumber kesadaran diri indvidu. Ego mengembangkan perasaan yang
berkelanjutan diri antara masa lalu dengan masa yang akan datang selama proses
penyesuaian diri dengan realita. Friedman dan Schustack (2006, 156)
mengemukakan bahwa ego berkembang mengikuti tahap epigenik, artinya tiap bagian
dari ego berkembang pada tahap perkembangan tertentu dalam rentang waktu
tertentu. Menurutnya, semua yg berkembang mempunyai rencana dasar, dan dari
perencanaan ini muncul bagian-bagian, masing-masing bagian mempunya waktu
khusus utk menjadi pusat perkembangan, sampai semua bagian muncul untuk
membentuk keseluruhan fungsi.
F.
Relevansi
dengan keadaan sekarang
Teori Erikson sekarang
sekarang lebih banyak digunakan dalam tahap perkembangan manusia. Namun
teorinya dalam bidang kepibadian juga banyak digunakan. Inti dari konsep
Erikson mengenai kepribadian adalah delapan urutan tahap perkembangan manusia,
dimana lima tahap pertamanya menentukan keprbadian manusia. Dengan demikian,
pengalaman seseorang dapat mempengaruhi kepribadiannya. Selain itu,
kebiasaan-kebiasaan kita yang kita wujudkan dalam tingkah laku sehari-hari juga
mempengarui perasaan identitas seseorang.
Pandangan Erikson mengenai
manusia berada ditengah-tengah diantara determinisme dan pilihan bebas.
Meskipun kodrat manusia bergantung pada anatomi, sejarah, dan kepribadian,
namun manusia menguasai sejarah secara tebatas dan kepribadian manusia
memberikan manusia pilihan untuk memilih. Manusia dapat mencari
identitas-dentitiasnya masing-masing tanpa dipaksakan oleh sejarah atau
mayarakat. Menurut pandangan Erikson, sebelum masa adolesen, sebagian besar
kepribadian kita dibentuk oleh motivasi tidak sadar.
Teori Erikson lebih bersifat
sosial daripada biologis meskipun teorinya tidak mengabaikan anatomi dan
faktor-faktor fisiologis lain dalam perkembangan kepribadian. Ketika manusia
berkembang melalui delapan tahap perkembangan Erikson, pengaruh-pengaruh sosial
akan meluas dan menjadi kuat. Disanalah kepribadian manusia mulai berkembang.
Bagi Erikson, kepribadian yang fundamental adalah menetapkan bagaimana individu
menyesuikan diri dengan lingkngannya dari keadaan sosial historis tempat ia
dilahirkan. Masyarakat yang berbeda dengan cara membesarkan anak yang berbeda
pula akan membentuk kepribadian sesuai dengan keadaan kebudayaan mereka.
Erikson menekankan penyesuaian diri sadar individu dengan pengaruh-pengaruh
sosial.
Teori Erikson terfokus pada perkembangan sosial,
sehingga aplikasinya terutama dibidang pendidikan sosial, khususnya pada usia
anak-anak dan remaja. Memperhatiakn teori Erikson akan berdampak kepada
perlakuan orang dewasa kepada anak lebih sesuai dengan kebutuhan usia anak-anak
itu. Konsep krisis identitas ternyata aplikatif untuk menginterprestasi lima
ranah sumber krisis para pemuda di amerika yakni:
1. Problem
2. Konflik
pilihan pekerjaan dengan orang tua
3. Keanggautaan
kelompok sebaya
4. Hubungan
cinta remaja
5. Penggunakan
obat psikotropik
Dibidang psikoterapi, analisis konflik sosial dapat
membantu pemahaman kepribadian klien, namun Erikson tidak mengusulkan tritmen
yang khas sesuai dengan focus teori psikososialnya.
Dibidang pengukuran Erikson mengembangkan play
construction test, dan Rosenthal bersama dengan Gunrey dan Moore mengembangkan
Erikson Psychososial Stage Inventory (EPSI)
DAFTAR
PUSTAKA
Alwisol. (2009). Psikologi
Kepribadian. Malang: UMM Press.
Feist, J. &.
(2010). Theories of personality. Jakarta Selatan: Salemba Humanika.
Schustack, F. S.
(2006). Kepribadian teori klasik dan rise modern. Jakarta: Erlangga
Semiun,
Yustinus. 2013. Teori-Teori Kepribadian
Psikoanalitik Kontemporer-2. Yogyakarta: Penebit Kanisius